
Sebelum jadi mahasiswa, harus mengabdi ke senior dulu
Mungkin ada teman-teman yang berminat atau tidak berminat menjadi dosen PNS di Indonesia? Saya punya cerita untuk anda. Setelah selesai membacanya, apakah pandangan anda berubah atau tetap sama?
Sistem lama
Mungkin sistem rekrutmen dosen PTN seperti berikut sudah makin jarang, tapi menurut beberapa teman masih ada kok kasus-kasus seperti sistem berikut. Di Indonesia, sejauh yang saya tahu di beberapa PTN (tapi tidak di semua jurusan sepertinya), biasanya alumni dijanjikan untuk menjadi dosen ketika lulus S1. Syaratnya kemudian biasanya harus mengabdi di jurusan, kadang sambil kuliah S2. Mengabdi disini biasanya adalah membantu proyek-proyek dosen senior, menjadi asisten dosen dalam mengajar kuliah, dan lain sebagainya. Kata “mengabdi” cukup tepat untuk digunakan dalam konteks ini karena biasanya penghargaan dalam bentuk gaji/honor sangatlah minimal. Dengan perubahan peraturan, misalnya syarat minimal penerimaan dosen yang sekarang menjadi S2 maka sistem diatas bisa sedikit berubah. Satu contoh mudah dijanjikannya ketika menjelang lulus/sudah meraih gelar S2. Tentu saja masih dengan mengabdi terlebih dahulu.
Jika dibandingkan dengan di banyak negara lain, jarang sekali yang direkrut menjadi dosen sebelum doktor, bahkan biasanya harus postdoc. Jadi yang dilihat adalah track record penelitian, mengajar dan lain sebagainya. Bahkan setelah jadi dosen pun, biasanya ditawarkan kontrak dulu selama beberapa tahun, setelah mampu membuktikan kinerja dan produktifitasnya baru akan ditawari posisi tetap. Jika tidak mampu ya kontrak tidak akan diperpanjang.
Yang menarik dari argumen beberapa dosen senior di Indo adalah, sistem yang sudah cukup tua diterapkan di Indo tersebut cukup efektif terutama untuk menguji loyalitas seorang calon dosen terhadap jurusan dan universitasnya. Sedangkan jika kita lihat di LN kebanyakan tidak memperhatikan faktor “loyalitas” tsb, seorang dosen bebas-bebas saja untuk berlabuh di mana saja. Yang biasanya di jadikan bargaining position sebuah univ di LN untuk mempertahankan seorang dosen yang bagus adalah gaji, fasilitas, iklim riset dan lain sebagainya yang dapat menunjang produktifitas dosen tersebut.
Kemudian, saya jadi terpikir bahwa karena kriteria dan prosedur yang cukup berbeda diatas, maka input dosen yang masuk akan sangat berbeda. Saya mungkin terdengar kasar dan menggeneralisasi tapi harap jangan marah dulu karena saya tidak bicara mengenai orang per orang, tentu saja disini saya hanya membicarakan trend dan kecenderungan setelah membandingkan dua sistem diatas. Di LN, dosen yg masuk akan lebih bagus dan produktif daripada di Indonesia yang hanya mementingkan “loyalitas”.
Sistem baru
Saya menyadari bahwa akhir-akhir ini ada sistem baru yang diterapkan. Walaupun tentu saja cara lama diatas masih mungkin saja untuk digunakan karena celah-celah birokrasi. Kini, penerimaan dosen PTN yang PNS tersentralisasi di bawah koordinasi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan). Siapa pun bisa mendaftar, siapa pun bisa ikut tes. Peran institusi hanya di awal ketika penentuan kebutuhan (dan ini pun masih bisa diubah oleh pihak pusat) dan di akhir ketika tes kompetensi bidang atau wawancara.Menurut teman saya yang kebetulan bekerja di Ilmu Komputer IPB, dalam rekrutmen dosen PNS yang baru-baru ini, salah satu yang diterima ternyata bukanlah alumni IPB baik S1 dan S2-nya.Mereka juga punya beberapa dosen honorer yang diminta ikut kalau ada rekrutmen dosen PNS, tetapi tidak pernah menjanjikan bahwa mereka akan lolos karena memang bukan internal yang memutuskan sepenuhnya.
Mengenai materi tes, tes tertulis yang dari pusat (Tes Kompetensi Dasar) tidak berkait ke bidang keilmuan. Ada tiga komponen yaitu: Karakteristik Pribadi, Intelegensi Umum, dan Wawasan Kebangsaan. Karena ini adalah rekrutmen PNS terpusat sehingga komponen tersebut berlaku untuk seluruh instansi, baik dosen maupun non-dosen. Banyak kandidat yang jatuh di tes ini, tetapi hal ini adalah di luar kewenangan PT. Paling jauh yang dapat dilakukan PT adalah memberikan masukan. Justifikasi yang kadang diberikan akan tes yang seperti kurang sesuai untuk dosen ini adalah bahwa kegiatan dosen PTN bukan semata mengajar dan meneliti. Bisa jadi juga ada penugasan komisi dan jalur karir struktural termasuk ke birokrasi pemerintah yang mungkin jadi pertimbangan.Kemudian, ada Tes Kompetensi Bidang yang merupakan wewenang instansi. Untuk kasus PT, di sinilah kita bicara tentang rekam jejak akademik, pengalaman kerja, dan lain-lain. Sebagai gambaran, di IPB Tes Kompetensi Bidang dilaksanakan berupa wawancara. Setiap kandidat diwawancari oleh tiga orang. Satu dari departemen yang dilamar kandidat. Dua dari departemen lain. Masing-masing pewawancara diberikan panduan poin-poin yang ditanyakan dan mendapatkan lembar penilaian. Penekanan wawancara adalah penggalian bukti pengalaman, bukan rencana atau harapan. Misalnya, ketika mewawancarai pengalaman mengajar, kandidat diminta menceritakan pengalaman mengajar (formal atau non formal) beserta keterangan kapan terjadinya, siapa yang terlibat, dan apa capaiannya. Jadi bukan semata pernyataan bahwa yang bersangkutan suka/ingin mengajar.
Saya rasa sangat menarik dan perlu juga disebut di sini bahwa rasio antara jumlah pendaftar dan jumlah lowongan dosen sangat kecil dibandingkan dengan yang ada di lowongan “populer” seperti di kementerian keuangan, dll. Yang sudah masuk pun banyak yang pergi. Oleh karena itu, mungkin bagi kebanyakan universitas di Indonesia, sangat tidak realistis untuk menerapkan syarat harus S3 atau telah mengambil post-doctoral bagi dosen.Untuk memenuhi kebutuhan dosen dalam negeri, DIKTI (setahu saya sudah berjalan beberapa tahun belakangan ini) memberikan beasiswa khusus calon dosen. Percaya tidak percaya, DIKTI kabarnya kesulitan memenuhi kuota beasiswa ini. Lagi-lagi, bisa kita lihat rendahnya animo masyarakat untuk menjadi dosen. Menurut teman saya, penerima beasiswa calon dosen ini bukan ditempatkan DIKTI, tetapi kembali bertugas di PT yang merekomendasikannya. Sayangnya, belum jelas hubungannya dengan rekrutmen PNS. Di jurusan Ilmu Komputer IPB ada empat orang yang sedang studi S2 dengan skema beasiswa calon dosen ini. Insya Allah mereka akan menjadi dosen honorer setelah lulus.
Dosen dalam dan luar negeri
Sebenarnya mengenai konsep pekerjaan dosen, di Indonesia mirip dengan di luar negeri. Dalam rekrutmen dosen di luar negeri transkrip nilai dan rekam jejak saja juga tidak cukup. Wawancara dan tes mengajar di hadapan mahasiswa S1 itu minimal tambahannya. Paling tidak itu yang saya tahu untuk kasus NTU Singapura.Di Indonesia, sering disebut dan dibawa-bawa bahwa penting untuk menilai seorang calon dosen mengenai kemampuannya mengatasi beda pendapat (atau pendapatan) dan konflik. Kadang-kadang saya lihat hal ini dijadikan alasan untuk preferensi akan orang yang sudah dikenal secara personal oleh birokrat jurusan atau kampus walaupun kualifikasi ilmiahnya rendah dibanding yang sudah malang melintang di luar negeri. Perbedaan pendapat antar kolega apakah hanya terjadi di Indonesia? Tentu tidak. Bahkan bisa berpotensi lebih parah karena latar belakang agama, budaya yang berbeda-beda karena negara asal berbeda. Seorang PhD student bahkan sudah bisa mengalami hal tersebut. Apalagi postdoc dan yang lebih tinggi. Untuk bisa tetap bekerja dengan baik meskipun ada konflik pribadi diperlukan profesionalisme.Menurut saya dosen-dosen di luar negeri juga tidak kalah dari segi profesionalisme (atau mungkin lebih baik?) dari dosen-dosen di Indonesia. Meskipun sistem rekrutmennya sangat berbeda. Menarik juga untuk disebutkan disini, ‘bisa bekerjasama’ itu syarat yg dari dulu saya dengar di Indonesia, walaupun standardisasi dan implementasinya tidak begitu jelas. Mungkin kerjasamanya tergantung atasan saja nanti. Sebagai gambaran saja, peneliti masa kini baik ketika masih PhD atau setelahnya jarang sekali yang bisa ‘bertahan hidup’ tanpa kerjasama. Apalagi jika grupnya besar dan banyak kolaborasi.
Pekerjaan dosen di Indonesia memang tidak jauh berbeda dengan dosen di luar negeri. Yang berbeda (dan acap dipersoalkan) adalah angka absolut gajinya Namun, teman saya yang bekerja di IPB tetap yakin untuk mengatakan bahwa seorang dosen PNS punya peluang kelebihan pendapatan relatif yang serupa dengan dosen di luar negeri.Kata kuncinya adalah relatif. Biaya hidup di Indonesia berbeda dengan di luar negeri sehingga daya beli juga berbeda. Dosen PNS yang aktif akan mendapatkan tambahan tunjangan fungsional dan tunjangan sertifikasi pendidik sehingga total pendapatanya akan lebih dari 2 kali UMP DKI Jakarta yang baru-baru ini ramai dibicarakan. Dengan berbagai kegiatan lainnya di kampus (yakni bukan malah membuat proyek di luar), pendapatan tersebut bisa menjadi lebih dari 5 kali UMP DKI Jakarta. Lagi-lagi, fokus ke daya beli relatif, jangan ke angka absolut. Juga, beliau menyadari bahwa di beberapa PTS (yakni bagi dosen non-PNS) gajinya memang sangat rendah.Yang menjadi masalah adalah bayak orang fokus ke gaji rutin sehingga karir sebagai dosen kurang diminati atau dosen yang sudah ada malah sibuk proyek di luar (tidak bawa nama/kepentingan institusi). Jadi, mungkin tantangan untuk menjadi profesional lebih besar dibandingkan dosen di luar negeri. Masih banyak yang menganggap bahwa dosen punya waktu luang yang banyak dan sekadar sampingan.
Teaching or research university?
Tipikal keluhan yang dilontarkan oleh mahasiswa dari universitas saya sekarang (NTU) adalah banyak dosen yang mengajarnya tidak bagus. Ini adalah keluhan yang valid, karena saya sendiri pernah mengalaminya dan akhirnya terpaksa belajar sendiri dari textbook dan diskusi dengan teman-teman. Untungnya saya punya banyak teman yang jauh lebih pintar dari saya.
Kemudian, bukannya ingin membela NTU dengan membuta, tapi memang setahu saya NTU baru berdiri pada tahun 1991, dan belum begitu lama bertransformasi menjadi research university. NTU sebelumnya adalah teaching university, terutama pada masa masih bernama NTI. Jadi mungkin itu menjadi alasan pada rekrutmen besar-besaran di tahun 90an atau awal 2000an yg difokuskan adalah bukti kemampuan riset, bukan mengajar.Akan tetapi, saya setuju dosen yang bahkan ketika mengajar ternyata bahasa inggrisnya tidak bisa dipahami memang tidak perlu dipertahankan. Apalagi jika risetnya tidak istimewa walaupun sekilas kelihatan produktif, dan tampaknya ini yang dilakukan NTU akhir-akhir ini. Sepertinya sekarang mereka mulai berbenah dari segi sistem pengajaran. Beberapa tahun belakangan, saya perhatikan khususnya di fakultas sains dan teknik sistem rekrutmen dosen pun ditambah dengan kewajiban tes mengajar dihadapan para mahasiswa S1. Sebagai contoh saja, salah satu produk yang berhasil adalah seorang assistant professor baru di Fisika NTU yg bisa menerbitkan artikel ilmiah di Nature dengan hasil risetnya selama di NTU dan ternyata beliaupun disukai cara mengajarnya oleh para mahasiswa S1.
Kemudian, walaupun baru sebentar menjadi research staff di NTU, tapi saya tahu banyak sekali kesempatan training, workshop, dan sebagainya tentang kegiatan belajar-mengajar yang diadakan NTU (dan NIE) gratis untuk semua staffnya. Hal ini diinformasikan melalui email ke seluruh staff. Tentu saja staff tidak dipaksa untuk ikut, hanya bagi yang berminat saja.
Yang mungkin bisa dilakukan
Seorang teman mengabarkan bahwa menurut temannya yang sudah jadi dosen dengan posisi di Indonesia tapi sedang mengambil PhD di Tokyo Institute of Technology, “loyalitas” itu jadi luar biasa penting di Indonesia karena fasilitas dan iklim di Indonesia untuk riset itu masih belum kondusif dibandingkan di luar negeri. Dikhawatirkan orang yang cuma ‘jago tapi tidak loyal’ akan cuma mengeluh di institusi di Indonesia dan malah membawa pengaruh buruk buat sekitarnya. Oleh karena itu orang “loyal” diprioritaskan karena dia sudah tahu dalam-dalamnya seperti apa, jadi tidak akan “over-expectation” dan masih tetap bisa berkontribusi. Dan mungkin “track record” dia saat masih mahasiswa S1 dianggap cukup.
Jika perkataannya itu benar, mungkinkah sekarang (jujur saja ya) dalam banyak bidang riset Indonesia tertinggal dengan Malaysia? Tidak perlu sampai membandingkan dengan Singapura tentu saja.
Salah seorang teman sekaligus senior saya yang bekerja di CERN memberikan komentar yang menurut saya cukup berharga untuk dibagi disini.
– Sistem penerimaan dosen di Indonesia mengikut sistem beberapa negara Eropa (terutama sekali Italia & Prancis) yang disentralisasi dari pusat pemerintahan/kementrian pendidikan.– Sistem di beberapa negara lain memberikan independensi besar kepada departemen/jurusan & universitas untuk menentukan siapa yang diterima.– Sistem yang menekankan “loyalitas” dan “koneksi alma mater” ini sebenarnya bisa dirubah namun memerlukan perubahan dari sisi lain, yakni pemberdayaan para calon staf akademis, sehingga mereka memiliki bargaining position.
Oleh karena itu diperlukan:–Standardisasi gaji dosen, dimana gaji pokok seluruh dosen disamakan — dan tidak ada mekanisme lokal untuk meningkatkan pendapatan. Kalau sudah begini maka PTN top dan PTN 3T (terpencil, terluar, terdalam) sama-sama punya daya tarik bagi para calon dosen.
— Pemberdayaan dosen dimana independensi dosen ditentukan berdasarkan dana penelitian yang dia dapat dari external grant.
— Perubahan sistem grant penelitian dimana komponen gaji dihilangkan dari grant, namun ada komponen untuk postdoc & graduate student & pembelian alat, serta komponen perjalanan (untuk konferensi ilmiah dan sebagainya).
— Perubahan sistem employment dosen PTN sehingga yang bersangkutan bisa pindah, sehingga mau tidak mau PTN harus bisa memberikan fasilitas yang baik kepada dosen PTN.– Sinergi untuk merubah sistem itu sebenarnya memerlukan penggabungan pelaksana pendidikan tinggi dengan pelaksana manajemen penelitian di Indonesia. Idealnya Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi itu dipindahkan ke Kementrian Riset dan Teknologi. Seperti yang terjadi di banyak negara lain.– Kalau melihat sejarah dari Eropa yang sistem sentralisasi itu, susah mengubahnya. Di Prancis, Spanyol, dan Italia, koneksi alma mater ini masih kentara sekali. Lulusan universitas di luar Paris jangan harap bisa dapat posisi di universitas di Paris, demikian pula di Italia sentra-sentra akademik seperti Pisa, Milan, Roma, Torino, Bologna, praktis lebih suka menerima alumninya sendiri.Tentu saja kesulitan ini mungkin bisa diatasi bila ada kemauan keras dari tingkat Menteri atau Dirjen. Katakanlah: mulai sekarang PTN dilarang menerima pegawai dosen baru yang pernah terafiliasi dengan PTN tersebut dalam waktu 10 tahun terakhir. Afiliasi ini bisa berupa sebagai mahasiswa, dosen honorer, dan sebagainya.