Prinsip

Ini kisah seorang muslim yang saya kenal di Singapura. Sebut saja dia A.

Baru sekitar setengah tahun bergabung dengan sebuah perusahaan, dia mendapatkan sebuah ujian. Perwakilan dari perusahaan klien paling penting dari perusahaannya ingin datang berkunjung di hari Jumat. Klien tersebut adalah penyandang dana tunggal dari proyek yang dia kerjakan. Dan memang, A yang paling mengerti dan bertanggung jawab akan proyek tersebut. Ketika meeting dengan beberapa kolega dan bosnya, dia diberikan kabar itu. Seperti biasa, dia bilang ke bos nya:
“Baik. Tapi saya ketika siang harus pergi beberapa saat untuk shalat Jumat.”

Tidak diduga, bosnya tidak senang. Dia berkata bahwa klien ini sangat penting dan dalam hidup di dunia semua harus bisa berkompromi.
The world is built on compromises,” kata bos.
Bos pun berargumen lagi. Klien mungkin hanya akan datang beberapa kali dalam setahun, dan tidak semuanya di hari Jumat. Keadaan pun menjadi tegang karena A tetap bersikeras. Akhirnya pembicaraan pun ditunda karena agenda meeting dengan beberapa kolega kali itu adalah diskusi teknis.

Di kesempatan selanjutnya, bos lagi-lagi mendesak A. Tapi A tetap bertahan untuk tetap pergi shalat Jum’at. Si bos bilang menurut informasi temannya di Malaysia, boleh tidak pergi shalat Jum’at karena masalah darurat dan cukup diganti shalat Dzuhur saja. Tapi A tetap bersikeras bahwa masalah ini bukanlah darurat. A mungkin teringat perintah yang keras dari Rabb-nya:

“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui,” (Al-Jumu’ah: 9).

Dan juga perkataan panutannya shalallahu alaihi wa sallam:

Dari Thariq bin Syihab ra bahwa Rasulullah bersabda, “Shalat Jumat itu adalah kewajiban bagi setiap muslim dengan berjamaah, kecuali (tidak diwajibkan) atas 4 orang. [1] Budak, [2] Wanita, [3] Anak kecil dan [4] Orang sakit.” (HR Abu Daud)

Sepertinya, sebagian muslim yang tidak memiliki komitmen untuk menjalankan ajaran Islam dengan sebaik-baiknya memang membuat hidup jadi lebih susah untuk muslim lainnya. Ini karena non muslim jadi bisa saja membandingkan dengan membabi-buta:
“dia saja tidak selalu shalat jumat”,
“dia saja kadang-kadang minum bir/wine”,
dan lain-lain.

Bos pun tidak menyerah, dia bilang bahwa dia juga seorang “believer”. Dia pergi ke gereja tiap minggu, tapi jika ada kerjaan penting dia bisa saja tidak datang. Tentu saja A tetap bersikeras karena standar si bos dalam beragama bukanlah standar beragama dalam hidupnya.

Akhirnya sebagai jurus pamungkas, bos pun setengah mengancam. Bos bertanya: “Jika terjadi apa-apa dengan proyek ini maka tidak akan ada pekerjaan. Kamu mau bertanggung jawab?”. Akhirnya, A pun menyatakan siap menanggung segala resiko. Bos pun terdiam dan hari itu berlalu dengan canggung bagi mereka berdua.

Hari dan pekan pun berlalu. A tetap bekerja sebaik mungkin untuk mempersiapkan hasil-hasil pekerjaannya untuk dipresentasikan ke hadapan sang klien. A pun sudah mengabarkan ke istrinya untuk bersiap-siap jika dia terpaksa menjadi pengangguran sementara karena mempertahankan prinsip. Istrinya hanya tersenyum dengan penuh pengertian. Akhirnya hari Jumat itu pun tiba.

Briefing dimulai jam 8.30 pagi. Klien datang jam 9.30. Disini ternyata bos sudah mulai luluh hatinya. Atau mungkin sudah menyerah dengan teguhnya sikap A. Bos pun menyampaikan ke klien bahwa ketika jam makan siang nanti A perlu break, walaupun alasannya tidak disebutkan. Klien pun cuma mengangguk-angguk saja. Akhirnya, presentasi yang isinya masalah teknis dimulai pada pukul 10. Slides demi slides ditampilkan. Topik demi topik pun dibahas. Pertanyaan demi pertanyaan dijawab. Akhirnya presentasi dan diskusi teknis pun selesai sekitar jam 12. Sesinya sukses. Masih ada waktu sekitar 45 menit sebelum masuk waktu Dzuhur. Sangat cukup waktu untuk pergi ke masjid dan menunaikan shalat Jum’at.

Akhirnya A mencoba mengkonfirmasi kepada bos apakah masih ada yang perlu dia perjelas nanti setelah shalat Jumat. Ternyata tidak, setelah makan siang agendanya adalah business talk. Ini karena diskusi teknis yang sangat lancar barusan. Jadi, tidak perlu ada pertemuan masalah teknis lanjutan di hari itu. Mengenai business meeting, tentu saja pegawai macam A tidak perlu ikut dalam meeting tersebut. Ini hanya diskusi antara bos dan klien. Melibatkan masalah uang.

A merasa lega. Mungkin lagi-lagi dia teringat pada firman Allah:

“Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan mengatakan: Kami telah beriman, sedang mereka belum diuji?” (QS Al-Ankabut:2-3)

Dan sungguh, jika akhirnya tidak seindah kisah ini pun, jika A terpaksa harus menganggur sementara karena mempertahankan prinsipnya dalam beribadah kepada Allah Rabb semesta alam, semua hanya ujian.

“Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.  (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun” (Al Baqarah: 155-156)

Iklan

Biasa menjadi luar biasa

Dalam sebuah perjalanan berdua dengan istri di taxi beberapa bulan yang lalu, kami ngobrol tentang pentingnya sebuah tim. Orang yg punya kapabilitas sangat hebat, tetapi tidak punya murid atau tim yang bagus maka akan tenggelam juga pada akhirnya.

Dalam dunia bisnis (soalnya istri saya alumni Nanyang Business School, meskipun setelah lulus malah membelot jadi guru SDN di Singapura), contohnya adalah fenomena Apple dan Steve Jobs. Betapapun jenius dan visonernya Jobs dalam bisnis, kalau tidak ketemu dengan Wozniak yang merupakan insinyur handal dan juga tim dibawahnya maka sulit untuk bisa berkembang dan bertahan lama.

Dalam dunia akademik, banyak juga profesor bagus tapi tidak bisa mengarahkan murid dengan baik maka warisan ilmunya tidak terlalu lama.  Yang langsung terasa, jika tidak punya tim riset yang bagus maka produktifitasnya akan jauh berkurang.

Yang menarik, dalam mazhab Fiqh juga begitu. Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bisa bertahan mazhabnya dari gempuran zaman dengan izin Allah salah satu sebabnya adalah murid-muridnya yang terus menyempurnakan mazhab guru-gurunya. Ambil saja Imam Al-Laits sebagai contoh, seorang ulama besar di Mesir. Ketika Imam Syafi’i di Mesir, beliau banyak belajar kepada muridnya Imam Al-Laits (karena Sang Imam sudah meninggal). Sampai Imam Syafi’i berkomentar: Al-Laits lebih faqih daripada Malik. Malik disini maksudnya Imam Malik. Padahal sekarang kita tahu mazhab Imam Al-Laits sudah punah, tetapi mazhab Imam Malik masih bertahan.

Jadi keberhasilan suatu sistem/institusi tidak pernah karena satu orang yang sangat menonjol dan yg lainnya biasa-biasa aja. Melainkan karena adanya kumpulan orang-orang biasa atau luar biasa yang bekerja bersama-sama.

Karena hidup adalah kumpulan pilihan

Saya hanya seorang lelaki biasa yang, atas karunia dari Allah saja, sempat mengenyam pendidikan tinggi dan sekarang bekerja di luar Indonesia. Akan tetapi, sering sekali ada bisikan di hati untuk pulang karena banyak faktor, misalnya karena keluarga besar di Indonesia dan pendidikan keIslaman untuk keluarga. Akan tetapi, mungkin justru karena latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja yang tinggi tetapi sangat spesifik membuat keputusan tersebut sangat sulit untuk dibuat. Sebagai kepala keluarga, pastinya saya harus bekerja untuk menopang hidup keluarga.

Pilihan pertama: Bekerja di Universitas atau Lembaga Riset di Indonesia

Dari latar belakang pendidikan, pilihan ini sangat cocok. Akan tetapi, sudah bukan rahasia lagi bahwa penghasilan yang akan didapat dari pilihan ini lebih rendah dari kebutuhan (terutama jika tinggal di Jabodetabek). Apalagi untuk keluarga dengan (insya Allah) 3 orang anak. Tentu saja pekerjaan sampingan bisa diakukan untuk menunjang hidup keluarga. Konsekuensinya, waktu yang seharusnya bisa untuk keluarga jadi terbuang di jalan untuk mengais-ngais penghasilan tambahan. Suasana kerja pun sepertinya masih sangat jauh dari ideal.

Faktor beratnya tuntutan hidup tentu saja akan berkurang jika tinggal di kota kecil. Harus dicatat juga bahwa semakin kecil suatu kota, dan semakin kecil biaya hidup yang dibutuhkan, akan semakin sulit juga untuk mengakses fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan pekerjaan atau kenyamanan keluarga. Mungkinkah ada kota yang punya fasilitas lumayan tapi biaya hidup tidak tinggi? Mungkin Yogyakarta?

Untuk segelintir universitas negeri top, mungkin sekarang keadaan sudah jauh lebih baik. Misalkan, dosen peneliti inti UI bisa dapat sekitar Rp. 12 juta sebulan. Akan tetapi, sebelum bisa mencapai posisi itu, minimal satu atau dua tahun seorang dosen harus bisa bertahan dengan penghasilan yang cukup rendah. Track record yang dibangun juga haruslah bagus.

Universitas swasta sekarang juga sudah mulai menunjukkan geliatnya. Beberapa universitas swasta justru terlihat lebih agresif dalam merekrut SDM yang berkualitas. Akan tetapi stabilitas keuangan dan kebijakan bisa menjadi ganjalan. Layaknya perusahaan startup, universitas swasta yang baru atau dengan model bisnis yang baru perlu membuktikan daya tahan mereka dalam menghadapi persaingan.

Pilihan kedua: Bekerja di industri/perusahaan

Hampir semua industri di Indonesia tidak membutuhkan karyawan dengan latar belakang PhD (apalagi postdoc). Jadi strategi yang paling masuk akal adalah berkompromi dengan bidang pekerjaan yang ada. Dan untuk orang-orang semacam saya, ini sudah bukan hanya “banting setir” akan tetapi sudah “ganti mobil”.
Menjamurnya startup di beberapa kota besar di Indonesia cukup menjanjikan. Dari segi penghasilan yang bisa didapat pun tidak lah mengecewakan. Skill negosiasi sangat berperan disini. Terlebih lagi, “talent pool” yang masih cukup terbatas di Indonesia membuka kesempatan yang lebar bagi lulusan LN (asalkan tetap rendah hati dan mau belajar) yang ingin kembali bekerja di Indonesia tercinta. Budaya startup yang informal, dan biasanya waktu kerja yang cukup fleksibel,  juga salah satu daya pikat tersendiri.

Pilihan ketiga: Membuat perusahaan/startup atau menjadi freelancer/konsultan

Opsi ini mungkin paling beresiko karena berarti hampir seluruh tanggung jawab ada di pundak sendiri. Modal uang (ini bisa dibantu investor) dan waktu pribadi yang perlu diinvestasikan juga cukup tinggi. Akan tetapi, kepuasaan yang didapat ketika bekerja mungkin sulit dikalahkan oleh profesi karyawan.

Jika dicermati, pasar di Indonesia sangat luas sehingga secara hitungan kasar di atas kertas masih banyak peluang usaha bagi mereka yang jeli. Mungkin sering pulang dan diskusi dengan pelaku bisnis di Indonesia berguna bagi mereka yang ingin menangkap peluang-peluang tersebut.

Seorang teman yang sekarang meneruskan studi di Berkeley pernah berkomentar ketika saya baru pindah ke industri R&D, “Jadi sudah gak balik ke akademia dong ya?”. Ketika itu saya jawab, “Mungkin saja balik, insya Allah.” Dia tersenyum lalu berkata, “Kayaknya kalo sudah merasakan uang di industri bakalan berat balik ke akademia.” Ketika itu saya hanya tersenyum saja, kemudian berkata, “Oh, gitu ya?”.

Sekarang? 🙂

Memenangkan hati seorang perempuan

Tanpa sengaja, ingatan saya melayang ke masa saya menjalani Kerja Praktek di pembangkit listrik panasbumi di kawasan Dieng yang indah. Saya adalah mahasiswa Fisika UI ketika itu, peminatan geofisika.

Di sana, saya bertemu dengan seorang operator pembangkit lulusan SMA/STM, sebut saja O, yang menanyakan tentang seorang mahasiswa di UI, sebut saja namanya A. Kebetulan sekali, saya kenal A. Bukan karena saya berteman dengan A, akan tetapi A sebagai mahasiswa Teknik Kimia UI pernah praktikum Fisika Dasar di bawah bimbingan saya. Saya masih ingat A, karena dia sangat menonjol dalam pemahaman dan usahanya utk tahu lebih banyak mengenai Fisika, dibandingkan teman-temannya. Diskusi grupnya menjadi hidup karena ada A, saya tahu bahwa dia bukan cuma ingin punya nilai bagus tapi juga ingin benar-benar paham. Karena angkatan A cuma satu atau dua tahun setelah angkatan saya, sebenarnya umur kami sebaya.

Tiba-tiba O mengatakan bahwa A adalah teman SMPnya. Ketika SMP mereka memperebutkan hati seorang perempuan, dan dengan bangga O mengatakan bahwa dia yg menang. Saya lihat O memang anak muda yang tampan, ditunjang dengan postur yang gagah. Jauh lah dibandingkan A, apalagi saya yang ketika itu kurus kerempeng. Bangga sekali O, bisa mengalahkan A yang dikenal pintar di sekolahnya dalam urusan mendapatkan hati seorang perempuan. Mungkin perempuan tersebut adalah primadona ketika itu.

Akan tetapi, saya seakan melihat ada sesuatu yang tersembunyi di balik kebanggaan O. Mungkin dia sadar, bahwa “kejayaannya” itu hanya ada di masa lalu. Dan mungkin satu2nya yang bisa dia menangkan dari “temannya”, itupun dulu. Ketika zaman saya Kerja Praktek tersebut mungkin saja perempuan di masa SMP tersebut malah berbalik memilih A daripada O, operator lulusan SMA/STM vs mahasiswa Teknik Kimia UI gitu lho.

Mungkin saja A malah selamat, jadi dia akan menikahi perempuan yang jauh lebih baik nantinya setelah dia meningkatkan kualitas dirinya.

Jadi adik-adikku sekalian yang masih sekolah, tidak usah pusing memikirkan mendapatkan hati perempuan (dan hati laki-laki bagi yang perempuan). Sibuklah memikirkan bagaimana kamu bisa menjadi pribadi yang lebih baik, jiwa dan raga. Belajarlah, baik ilmu agama dan dunia. Berolahragalah, agar tubuhmu sehat. Makanlah yg halal lagi baik-baik dan beristirahat yang cukup. Karena hidupmu adalah amanah, dan perjalanannya penuh dengan ujian. [1]

Catatan:
[1] Seperti diriwayatkan dalam sebuah hadits:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اَلْـمُؤْمِنُ الْقَـوِيُّ خَـيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَـى اللهِ مِنَ الْـمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ، وَفِـيْ كُـلٍّ خَـيْـرٌ ، اِحْـرِصْ عَـلَـى مَا يَـنْـفَـعُـكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلَا تَـعْجَـزْ ، وَإِنْ أَصَابَكَ شَـيْءٌ فَـلَا تَقُلْ: لَوْ أَنِـّيْ فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَـذَا ، وَلَـكِنْ قُلْ: قَـدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ لَوْ تَـفْـتَـحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu , beliau berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allâh Azza wa Jalla daripada Mukmin yang lemah; dan pada keduanya ada kebaikan. Bersungguh-sungguhlah untuk mendapatkan apa yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan kepada Allâh (dalam segala urusanmu) serta janganlah sekali-kali engkau merasa lemah. Apabila engkau tertimpa musibah, janganlah engkau berkata, Seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini dan begitu, tetapi katakanlah, Ini telah ditakdirkan Allâh, dan Allâh berbuat apa saja yang Dia kehendaki, karena ucapan seandainya akan membuka (pintu) perbuatan syaitan.

Untuk pembahasan singkatnya bisa dibaca di sini.

Pindah

Sudah lama sekali saya tidak menulis disini. Kesibukan di tempat lain tentu saja adalah kambing hitam yang paling mudah. Tapi mirip dengan kaidah dalam fiqh [1], apa yang tidak bisa saya gapai keseluruhannya tidaklah serta merta saya tinggalkan sama sekali. Karena itulah posting kali ini pun tercipta.

Sekarang saya bekerja di industri, hal yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan dan bahkan tidak pernah terbersit dalam lamunan. Apakah saya sudah tidak suka penelitian? Jawabannya tidak, saya masih suka penelitian. Kebetulan posisi saya di industri sekarang sangat kental Research & Development (R&D)-nya. Bidang saya sekarang pun masih dekat dengan penelitian saya sebelumnya, akustik dan mekanika fluida.

Segalanya terjadi begitu cepat. Beberapa bulan yang lalu pembimbing PhD saya (CD) mengumumkan di sebuah grup facebook bahwa ada lowongan pekerjaan R&D di sebuah perusahaan. Saya ketika itu hanya “like” saja, sama sekali tidak ada pikiran untuk pindah kerja. Akan tetapi tiba-tiba, CD langsung bertanya ke saya. Kemudian karena terlanjur “like”, saya pun kirim email seadanya ke CD untuk menanyakan detil pekerjaan tersebut. Jawaban emailnya ternyata langsung di-cc ke bos perusahaan tersebut, kemudian wawancara dan semuanya terjadi sangat cepat. Mungkin karena kantornya di gedung yang sama dengan kantor saya, cuma lantainya yang beda. Kebetulan, mungkin ada pengaruhnya juga, bos tersebut dulu fisikawan juga.

Menjadi peneliti untuk industri adalah hal yang belum pernah saya coba, dan terus terang saya merasa perlu untuk memperkaya pengalaman saya. Sejak dulu saya ingin sekali bekerja di lingkungan akademik. Tetapi, apakah preferensi ini muncul karena tidak adanya pengalaman di tempat lain? Saya tidak akan pernah tahu jika tidak pernah mencoba. Mungkin inilah saatnya memulai eksperimen yang baru dalam hidup saya. Apalagi posisi puncak di akademik sudah sangat tersaturasi. Sebenarnya seorang peneliti dengan gelar PhD pada akhirnya pindah ke industri bukanlah hal yang tidak biasa. Ini dapat dilihat dari skema yang saya dapatkan dari internet berikut ini (link file pdf)

Academic.Metabolismacademetabolism

Menarik juga untuk saya beritahukan, bahwa saya sudah mencoba untuk mengikuti tes menjadi dosen PNS di Indonesia. Sayang sekali saya tidak berhasil. Kemungkinan besar karena jadwal wawancara terakhir bertepatan dengan jadwal umrah saya dan keluarga. Pengumuman jadwal wawancara yang sangat mepet ketika itu sangat menyebalkan bagi saya. Sampai saya mencoba mengirimkan surat resmi ke pihak rektorat, tapi tidak ada tanggapan yang berarti karena ini adalah wewenangnya Kemdikbud. Jadi saya akhirnya pasrah saja dengan takdir Allah. Hikmahnya, mungkin, saya memang belum siap untuk berdjoeang di Indonesia. Untuk kenang-kenangan, ini snapshot dari kartu ujian saya. 🙂

kartucpns

Meskipun ada perbedaan mendasar mengenai keluaran (output) yang diharapkan dari bekerja di industri dan akademik, secara operasional saya hampir tidak merasakan bedanya. Apalagi banyak sekali funding riset yang sekarang bersifat aplikatif, dengan tujuan akselerasi pertumbuhan ekonomi suatu negara. Sayangnya akses saya ke jurnal-jurnal akademik menjadi sangat terbatas. Untuk Elsevier (Science Direct) saya masih bisa mendownload sendiri karena menjadi reviewer beberapa saat yang lalu. Untuk yang lain, saya terpaksa minta tolong kenalan-kenalan saya.

Sejauh ini saya cukup menikmati suasana baru, semoga saja pilihan yg sudah saya pikir dengan cukup masak [2] ini adalah pilihan yang terbaik untuk periode ini.

Notes:

[1] Kaidahnya berbunyi: ما لا يدرك كله لا يترك كله. Kaidah fiqh yang penting ini dibahas dengan singkat tapi cukup memuaskan di halaman ini.
[2] Salah satu sunnah yang sepertinya kadang dilupakan kaum muslimin dalam pengambilan keputusan kehidupan adalah shalat istikharah. Bagi yang membutuhkan, panduan shalat istikharah bisa dibaca di sini.

Rencana pensiun

Terlalu dini

Ada teman yang berkata kepada saya bahwa saya masih muda, jadi terlalu dini untuk memikirkan rencana pensiun. Mungkin ada benarnya, bahkan yang lebih penting lagi adalah belum tentu saya akan hidup sampai masa pensiun. Kadang saya jadi teringat cerita Mama saya tentang angan-angan Papa (rahimahullah) dahulu. Beliau membayangkan bahwa ketika nanti sudah pensiun dan jadi kakek-kakek akan pergi berduaan dengan Mama, yang tentu saja sudah menjadi nenek-nenek, setiap bulannya ke kantor pos untuk mengambil uang pensiun. Berjalan berdua, tertatih, bergandeng-tangan. Siapa yang mengira bahwa ternyata Papa saya meninggal di usia yang relatif muda, masih sangat jauh dari masa pensiun.

Akan tetapi, saya merasa sesekali memikirkan rencana pensiun cukup banyak manfaatnya. Karena saya (mungkin bisa digeneralisasi ke banyak orang) seringkali memikirkan untuk mengisi aktivitas pensiun dengan kegiatan yang dia senangi. Bahkan termasuk kegiatan yang sebelumnya tidak mampu dia lakukan karena sibuk dan kerasnya tuntutan kehidupan di usianya yang lebih muda. Papa saya contohnya, dengan angan-angannya itu mungkin merasa bahwa beliau terlalu sibuk bekerja dan mungkin kurang menghabiskan waktu dengan seseorang yang dia cintai, Mama saya (hafizhahallah).

Prioritas tentu saja berbeda untuk setiap orang, banyak sekali faktor yang bisa mempengaruhinya. Mampu mengenali apakah hal-hal penting tersebut adalah suatu pencapaian pribadi, menurut saya. Mampu mengidentifikasi apakah hal-hal itu hanya akan menjadi penting dalam kurun waktu tertentu, atau untuk selamanya, adalah pencapaian yang lebih lanjut lagi.

Aktivitas pensiun

Ada beberapa aktivitas yang ingin saya lakukan secara rutin nanti, jika Allah mengizinkan.

  1. Mengajar baca Al-Qur’an beserta tajwid kepada anak-anak kecil (atau orang dewasa yang membutuhkan) di waktu pagi dan sore.
    Aktivitas ini sangat mulia, dan sangat indah rasanya jika saya bisa memulai dan menutup hari dengannya. Konsekuensinya adalah saya harus mampu membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar juga memiliki kemampuan untuk mengajarkannya. Terus belajar dan berlatih adalah keniscayaan. Insya Allah saya akan memulai dengan mengajar anak-anak saya sendiri dalam waktu dekat.
  2. Tinggal di desa dan beternak.
    Ini impian saya sejak saya mengunjungi sebuah desa di daerah Dataran Tinggi Dieng bertahun-tahun yang lalu. Udara segar, bahan makanan yang segar dan sehat (sayur-mayur dan buah-buahan yang masya Allah rasanya tidak pernah saya rasakan di kota), air yang masih bersih alami tanpa perlu filtrasi apalagi desalinasi, mungkin hanya sebagian dari daya tarik suasana pedesaan.
    Ternak yang menarik untuk dikembangkan bagi saya adalah kambing/domba, sapi dan kuda. Mungkin alasannya karena bisa digembalakan di pedesaan.
    Semoga suasana alam pedesaan masih bisa terus dilestarikan.
  3. Sesekali mengajar fisika di SMA atau universitas pinggiran.
    Karena berlokasi jauh dari kota besar bukan berarti sebuah sekolah tidak ada bibit potensial. Semoga saja dengan saya berusaha berbagi ilmu dan pengalaman dapat bermanfaat bagi bibit-bibit potensial tersebut. Saya suka Fisika, dan tentu saja sangat senang untuk berbagi sesuatu yang saya sukai dengan banyak orang. Terlebih lagi ini merupakan sarana untuk mengajarkan cara berfikir ilmiah, yang insya Allah diperlukan dalam kehidupan banyak orang.
  4. Menjadi instruktur taekwondo.
    Belajar ilmu beladiri sangat bermanfaat untuk melatih fisik dan mental. Kenapa taekwondo? Sebenarnya ilmu bela diri apapun tidak masalah, menurut saya. Hanya saja saya sudah berkenalan dengan taekwondo dan alasan saya menekuninya karena bagi saya ada keindahan yang unik dibandingkan beladiri yang lain. Sebagian orang mungkin bilang bahwa taekwondo adalah ilmu beladiri yang tidak praktis, dalam artian sulit untuk menggunakannya sesegera mungkin dalam perkelahian. Mungkin mirip alasannya dengan kenapa saya lebih memilih kuliah di jurusan Fisika daripada Teknik. Jika saya telah menempuh pendidikan dari S1 sampai S3 di Fisika dan mampu melakukan riset yang aplikatif, kenapa Taekwondo tidak bisa digunakan untuk hal-hal yang aplikatif juga?

Refleksi

Setelah menuliskan hal-hal di atas, saya menyadari bahwa rencana pensiun saya sangat mirip atau paling tidak berkaitan dengan aktivitas saya sekarang. Jadi kesimpulan sementara bahwa saat ini saya sudah bekerja dan beraktivitas sesuai dengan passion saya. Alhamdulillah.

Sekarang saya masih aktif melakukan penelitian di bidang terkait Fisika, dengan kolaborasi dengan para ahli bidang teknik. Sebuah proposal yang saya buat dengan 2 professor bidang teknik (asal Singapura dan USA) pada akhir tahun yang lalu berhasil mendapatkan dana penelitian untuk 3 tahun ke depan, dimulai dari 1 November 2013 ini. Menariknya rencana riset kali ini cukup bersifat interdisiplin, tercermin dari penyusun proposalnya yang memiliki latar belakang Fisika (saya), Teknik (Singapura) dan Matematika Terapan (USA). Tentu saja rencana riset masih bisa gagal, bahkan bisa dibilang investasi riset sama resikonya atau bahkan bisa lebih beresiko daripada investasi bisnis. Tapi hidup tanpa resiko dan tantangan mungkin akan menjadi terlalu membosankan. Bekal pendidikan formal dan pengalaman riset inilah yang nanti bisa menjadi bekal untuk membantu mendidik dan memotivasi geberasi penerus.

Saya juga terdaftar sebagai seorang mahasiswa program BA in Islamic Studies dari Islamic Online University. Selama dua semester awal ada kuliah khusus tajwid dan latihannya di “depan” guru-guru tajwid yang kebetulan saya selalu dapat orang Mesir. Koneksi internet yang bagus mampu membuat jarak yang jauh menjadi tidak berarti. Ini cukup menjadi bekal untuk mengajar tajwid. Semoga saya bisa konsisten menjalankan aktivitas ini sampai selesai dalam 8/9 semester.

Saya juga rutin mengikuti latihan taekwondo 2x seminggu di kampus tempat saya bekerja. Efek langsung (hanya beberapa bulan) yang saya bisa rasakan adalah berubahnya berat badan ke arah berat ideal dan meningkatnya daya tahan tubuh serta resistensi terhadap stress karena pekerjaan.

Saya telah memulai berinvestasi kecil-kecilan dalam peternakan kambing yang dirintis seorang teman di daerah pinggiran Jakarta. Disini saya berharap untuk mulai belajar berbisnis dan belajar juga mengenai hal-hal yang perlu diketahui untuk menjadi peternak. Ini sulit untuk dipelajari tanpa praktek, makanya saya memutuskan untuk mencoba learning by doing, little by little.

Penutup

Semoga apa yang saya tuliskan hari ini bisa menjadi pengingat diri saya pribadi jika sedang lemah semangat dan malas. Semoga juga siapapun yang membacanya dapat mengambil pelajaran yang bermanfaat untuk diri masing-masing. Semoga tulisan ini bukanlah bentuk narsisme terselubung yang kadang bahkan tersembunyi dari penulisnya. 🙂

Menjadi Dosen PNS

Sebelum jadi mahasiswa, harus mengabdi ke senior dulu

Mungkin ada teman-teman yang berminat atau tidak berminat menjadi dosen PNS di Indonesia? Saya punya cerita untuk anda. Setelah selesai membacanya, apakah pandangan anda berubah atau tetap sama?

Sistem lama

Mungkin sistem rekrutmen dosen PTN seperti berikut sudah makin jarang, tapi menurut beberapa teman masih ada kok kasus-kasus seperti sistem berikut. Di Indonesia, sejauh yang saya tahu di beberapa PTN (tapi tidak di semua jurusan sepertinya), biasanya alumni dijanjikan untuk menjadi dosen ketika lulus S1. Syaratnya kemudian biasanya harus mengabdi di jurusan, kadang sambil kuliah S2. Mengabdi disini biasanya adalah membantu proyek-proyek dosen senior, menjadi asisten dosen dalam mengajar kuliah, dan lain sebagainya. Kata “mengabdi” cukup tepat untuk digunakan dalam konteks ini karena biasanya penghargaan dalam bentuk gaji/honor sangatlah minimal. Dengan perubahan peraturan, misalnya syarat minimal penerimaan dosen yang sekarang menjadi S2 maka sistem diatas bisa sedikit berubah. Satu contoh mudah dijanjikannya ketika menjelang lulus/sudah meraih gelar S2. Tentu saja masih dengan mengabdi terlebih dahulu.

Jika dibandingkan dengan di banyak negara lain, jarang sekali yang direkrut menjadi dosen sebelum doktor, bahkan biasanya harus postdoc. Jadi yang dilihat adalah track record penelitian, mengajar dan lain sebagainya. Bahkan setelah jadi dosen pun, biasanya ditawarkan kontrak dulu selama beberapa tahun, setelah mampu membuktikan kinerja dan produktifitasnya baru akan ditawari posisi tetap. Jika tidak mampu ya kontrak tidak akan diperpanjang.

Yang menarik dari argumen beberapa dosen senior di Indo adalah, sistem yang sudah cukup tua diterapkan di Indo tersebut cukup efektif terutama untuk menguji loyalitas seorang calon dosen terhadap jurusan dan universitasnya. Sedangkan jika kita lihat di LN kebanyakan tidak memperhatikan faktor “loyalitas” tsb, seorang dosen bebas-bebas saja untuk berlabuh di mana saja. Yang biasanya di jadikan bargaining position sebuah univ di LN untuk mempertahankan seorang dosen yang bagus adalah gaji, fasilitas, iklim riset dan lain sebagainya yang dapat menunjang produktifitas dosen tersebut.

Kemudian, saya jadi terpikir bahwa karena kriteria dan prosedur yang cukup berbeda diatas, maka input dosen yang masuk akan sangat berbeda. Saya mungkin terdengar kasar dan menggeneralisasi tapi harap jangan marah dulu karena saya tidak bicara mengenai orang per orang, tentu saja disini saya hanya membicarakan trend dan kecenderungan setelah membandingkan dua sistem diatas. Di LN, dosen yg masuk akan lebih bagus dan produktif daripada di Indonesia yang hanya mementingkan “loyalitas”.

Sistem baru

Saya menyadari bahwa akhir-akhir ini ada sistem baru yang diterapkan. Walaupun tentu saja cara lama diatas masih mungkin saja untuk digunakan karena celah-celah birokrasi. Kini, penerimaan dosen PTN yang PNS tersentralisasi di bawah koordinasi  Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan). Siapa pun bisa mendaftar, siapa pun bisa ikut tes. Peran institusi hanya di awal ketika penentuan kebutuhan (dan ini pun masih bisa diubah oleh pihak pusat) dan di akhir ketika tes kompetensi bidang atau wawancara.

Menurut teman saya yang kebetulan bekerja di Ilmu Komputer IPB, dalam rekrutmen dosen PNS yang baru-baru ini, salah satu yang diterima ternyata bukanlah alumni IPB baik S1 dan S2-nya.Mereka juga punya beberapa dosen honorer yang diminta ikut kalau ada rekrutmen dosen PNS, tetapi tidak pernah menjanjikan bahwa mereka akan lolos karena memang bukan internal yang memutuskan sepenuhnya.

Mengenai materi tes,  tes tertulis yang dari pusat (Tes Kompetensi Dasar) tidak berkait ke bidang keilmuan. Ada tiga komponen yaitu: Karakteristik Pribadi, Intelegensi Umum, dan Wawasan Kebangsaan. Karena ini adalah rekrutmen PNS terpusat sehingga komponen tersebut berlaku untuk seluruh instansi, baik dosen maupun non-dosen. Banyak kandidat yang jatuh di tes ini, tetapi hal ini adalah di luar kewenangan PT. Paling jauh yang dapat dilakukan PT adalah memberikan masukan. Justifikasi yang kadang diberikan akan tes yang seperti kurang sesuai untuk dosen ini adalah bahwa kegiatan dosen PTN bukan semata mengajar dan meneliti. Bisa jadi juga ada penugasan komisi dan jalur karir struktural termasuk ke birokrasi pemerintah yang mungkin jadi pertimbangan.

Kemudian, ada Tes Kompetensi Bidang yang merupakan wewenang instansi. Untuk kasus PT, di sinilah kita bicara tentang rekam jejak akademik, pengalaman kerja, dan lain-lain. Sebagai gambaran, di IPB Tes Kompetensi Bidang dilaksanakan berupa wawancara. Setiap kandidat diwawancari oleh tiga orang. Satu dari departemen yang dilamar kandidat. Dua dari departemen lain. Masing-masing pewawancara diberikan panduan poin-poin yang ditanyakan dan mendapatkan lembar penilaian. Penekanan wawancara adalah penggalian bukti pengalaman, bukan rencana atau harapan. Misalnya, ketika mewawancarai pengalaman mengajar, kandidat diminta menceritakan pengalaman mengajar (formal atau non formal) beserta keterangan kapan terjadinya, siapa yang terlibat, dan apa capaiannya. Jadi bukan semata pernyataan bahwa yang bersangkutan suka/ingin mengajar.

Saya rasa sangat menarik dan perlu juga disebut di sini bahwa rasio antara jumlah pendaftar dan jumlah lowongan dosen sangat kecil dibandingkan dengan yang ada di lowongan “populer” seperti di kementerian keuangan, dll. Yang sudah masuk pun banyak yang pergi. Oleh karena itu, mungkin bagi kebanyakan universitas di Indonesia, sangat tidak realistis untuk menerapkan syarat harus S3 atau telah mengambil post-doctoral bagi dosen.

Untuk memenuhi kebutuhan dosen dalam negeri, DIKTI (setahu saya sudah berjalan beberapa tahun belakangan ini) memberikan beasiswa khusus calon dosen. Percaya tidak percaya, DIKTI kabarnya kesulitan memenuhi kuota beasiswa ini. Lagi-lagi, bisa kita lihat rendahnya animo masyarakat untuk menjadi dosen. Menurut teman saya, penerima beasiswa calon dosen ini bukan ditempatkan DIKTI, tetapi kembali bertugas di PT yang merekomendasikannya. Sayangnya, belum jelas hubungannya dengan rekrutmen PNS. Di jurusan Ilmu Komputer IPB ada empat orang yang sedang studi S2 dengan skema beasiswa calon dosen ini. Insya Allah mereka akan menjadi dosen honorer setelah lulus.

Dosen dalam dan luar negeri

Sebenarnya mengenai konsep pekerjaan dosen, di Indonesia mirip dengan di luar negeri. Dalam rekrutmen dosen di luar negeri transkrip nilai dan rekam jejak saja juga tidak cukup. Wawancara dan tes mengajar di hadapan mahasiswa S1 itu minimal tambahannya. Paling tidak itu yang saya tahu untuk kasus NTU Singapura.

Di Indonesia, sering disebut dan dibawa-bawa bahwa penting untuk menilai seorang calon dosen mengenai kemampuannya mengatasi beda pendapat (atau pendapatan) dan konflik. Kadang-kadang saya lihat hal ini dijadikan alasan untuk preferensi akan orang yang sudah dikenal secara personal oleh birokrat jurusan atau kampus walaupun kualifikasi ilmiahnya rendah dibanding yang sudah malang melintang di luar negeri. Perbedaan pendapat antar kolega apakah hanya terjadi di Indonesia? Tentu tidak. Bahkan bisa berpotensi lebih parah karena latar belakang agama, budaya yang berbeda-beda karena negara asal berbeda. Seorang PhD student bahkan sudah bisa mengalami hal tersebut. Apalagi postdoc dan yang lebih tinggi. Untuk bisa tetap bekerja dengan baik meskipun ada konflik pribadi diperlukan profesionalisme.
Menurut saya dosen-dosen di luar negeri juga tidak kalah dari segi profesionalisme (atau mungkin lebih baik?) dari dosen-dosen di Indonesia. Meskipun sistem rekrutmennya sangat berbeda. 

Menarik juga untuk disebutkan disini, ‘bisa bekerjasama’ itu syarat yg dari dulu saya dengar di Indonesia, walaupun standardisasi dan implementasinya tidak begitu jelas. Mungkin kerjasamanya tergantung atasan saja nanti. Sebagai gambaran saja, peneliti masa kini baik ketika masih PhD atau setelahnya jarang sekali yang bisa ‘bertahan hidup’ tanpa kerjasama. Apalagi jika grupnya besar dan banyak kolaborasi.

Pekerjaan dosen di Indonesia memang tidak jauh berbeda dengan dosen di luar negeri. Yang berbeda (dan acap dipersoalkan) adalah angka absolut gajinya Namun, teman saya yang bekerja di IPB tetap yakin untuk mengatakan bahwa seorang dosen PNS punya peluang kelebihan pendapatan relatif yang serupa dengan dosen di luar negeri.

Kata kuncinya adalah relatif. Biaya hidup di Indonesia berbeda dengan di luar negeri sehingga daya beli juga berbeda. Dosen PNS yang aktif akan mendapatkan tambahan tunjangan fungsional dan tunjangan sertifikasi pendidik sehingga total pendapatanya akan lebih dari 2 kali UMP DKI Jakarta yang baru-baru ini ramai dibicarakan. Dengan berbagai kegiatan lainnya di kampus (yakni bukan malah membuat proyek di luar), pendapatan tersebut bisa menjadi lebih dari 5 kali UMP DKI Jakarta. Lagi-lagi, fokus ke daya beli relatif, jangan ke angka absolut. Juga, beliau menyadari bahwa di beberapa PTS (yakni bagi dosen non-PNS) gajinya memang sangat rendah.

Yang menjadi masalah adalah bayak orang fokus ke gaji rutin sehingga karir sebagai dosen kurang diminati atau dosen yang sudah ada malah sibuk proyek di luar (tidak bawa nama/kepentingan institusi). Jadi, mungkin tantangan untuk menjadi profesional lebih besar dibandingkan dosen di luar negeri. Masih banyak yang menganggap bahwa dosen punya waktu luang yang banyak dan sekadar sampingan.

Teaching or research university?

Tipikal keluhan yang dilontarkan oleh mahasiswa dari universitas saya sekarang (NTU) adalah banyak dosen yang mengajarnya tidak bagus. Ini adalah keluhan yang valid, karena saya sendiri pernah mengalaminya dan akhirnya terpaksa belajar sendiri dari textbook dan diskusi dengan teman-teman. Untungnya saya punya banyak teman yang jauh lebih pintar dari saya.

Kemudian, bukannya ingin membela NTU dengan membuta, tapi memang setahu saya NTU baru berdiri pada tahun 1991, dan belum begitu lama bertransformasi menjadi research university. NTU sebelumnya adalah teaching university, terutama pada masa masih bernama NTI. Jadi mungkin itu menjadi alasan pada rekrutmen besar-besaran di tahun 90an atau awal 2000an yg difokuskan adalah bukti kemampuan riset, bukan mengajar.

Akan tetapi, saya setuju dosen yang bahkan ketika mengajar ternyata bahasa inggrisnya tidak bisa dipahami memang tidak perlu dipertahankan. Apalagi jika risetnya tidak istimewa walaupun sekilas kelihatan produktif, dan tampaknya ini yang dilakukan NTU akhir-akhir ini. Sepertinya sekarang mereka mulai berbenah dari segi sistem pengajaran. Beberapa tahun belakangan, saya perhatikan khususnya di fakultas sains dan teknik sistem rekrutmen dosen pun ditambah dengan kewajiban tes mengajar dihadapan para mahasiswa S1. Sebagai contoh saja, salah satu produk yang berhasil adalah seorang assistant professor baru di Fisika NTU yg bisa menerbitkan artikel ilmiah di Nature dengan hasil risetnya selama di NTU dan ternyata beliaupun disukai cara mengajarnya oleh para mahasiswa S1.

Kemudian, walaupun baru sebentar menjadi research staff di NTU, tapi saya tahu banyak sekali kesempatan training, workshop, dan sebagainya tentang kegiatan belajar-mengajar yang diadakan NTU (dan NIE) gratis untuk semua staffnya. Hal ini diinformasikan melalui email ke seluruh staff. Tentu saja staff tidak dipaksa untuk ikut, hanya bagi yang berminat saja.

Yang mungkin bisa dilakukan

Seorang teman mengabarkan bahwa menurut temannya yang sudah jadi dosen dengan posisi di Indonesia tapi sedang mengambil PhD di Tokyo Institute of Technology, “loyalitas” itu jadi luar biasa penting di Indonesia karena fasilitas dan iklim di Indonesia untuk riset itu masih belum kondusif dibandingkan di luar negeri. Dikhawatirkan orang yang cuma ‘jago tapi tidak loyal’ akan cuma mengeluh di institusi di Indonesia dan malah membawa pengaruh buruk buat sekitarnya. Oleh karena itu orang “loyal” diprioritaskan karena dia sudah tahu dalam-dalamnya seperti apa, jadi tidak akan “over-expectation” dan masih tetap bisa berkontribusi. Dan mungkin “track record” dia saat masih mahasiswa S1 dianggap cukup.

Jika perkataannya itu benar, mungkinkah sekarang (jujur saja ya) dalam banyak bidang riset Indonesia tertinggal dengan Malaysia? Tidak perlu sampai membandingkan dengan Singapura tentu saja.

Salah seorang teman sekaligus senior saya yang bekerja di CERN memberikan komentar yang menurut saya cukup berharga untuk dibagi disini.

– Sistem penerimaan dosen di Indonesia mengikut sistem beberapa negara Eropa (terutama sekali Italia & Prancis) yang disentralisasi dari pusat pemerintahan/kementrian pendidikan.

– Sistem di beberapa negara lain memberikan independensi besar kepada departemen/jurusan & universitas untuk menentukan siapa yang diterima.

– Sistem yang menekankan “loyalitas” dan “koneksi alma mater” ini sebenarnya bisa dirubah namun memerlukan perubahan dari sisi lain, yakni pemberdayaan para calon staf akademis, sehingga mereka memiliki bargaining position.

Oleh karena itu diperlukan:

–Standardisasi gaji dosen, dimana gaji pokok seluruh dosen disamakan — dan tidak ada mekanisme lokal untuk meningkatkan pendapatan. Kalau sudah begini maka PTN top dan PTN 3T (terpencil, terluar, terdalam) sama-sama punya daya tarik bagi para calon dosen.

— Pemberdayaan dosen dimana independensi dosen ditentukan berdasarkan dana penelitian yang dia dapat dari external grant.

— Perubahan sistem grant penelitian dimana komponen gaji dihilangkan dari grant, namun ada komponen untuk postdoc & graduate student & pembelian alat, serta komponen perjalanan (untuk konferensi ilmiah dan sebagainya).

— Perubahan sistem employment dosen PTN sehingga yang bersangkutan bisa pindah, sehingga mau tidak mau PTN harus bisa memberikan fasilitas yang baik kepada dosen PTN.

– Sinergi untuk merubah sistem itu sebenarnya memerlukan penggabungan pelaksana pendidikan tinggi dengan pelaksana manajemen penelitian di Indonesia. Idealnya Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi itu dipindahkan ke Kementrian Riset dan Teknologi. Seperti yang terjadi di banyak negara lain.

– Kalau melihat sejarah dari Eropa yang sistem sentralisasi itu, susah mengubahnya. Di Prancis, Spanyol, dan Italia, koneksi alma mater ini masih kentara sekali. Lulusan universitas di luar Paris jangan harap bisa dapat posisi di universitas di Paris, demikian pula di Italia sentra-sentra akademik seperti Pisa, Milan, Roma, Torino, Bologna, praktis lebih suka menerima alumninya sendiri.

Tentu saja kesulitan ini mungkin bisa diatasi bila ada kemauan keras dari tingkat Menteri atau Dirjen. Katakanlah: mulai sekarang PTN dilarang menerima pegawai dosen baru yang pernah terafiliasi dengan PTN tersebut dalam waktu 10 tahun terakhir. Afiliasi ini bisa berupa sebagai mahasiswa, dosen honorer, dan sebagainya.

Riset anda dalam 5 menit

Beberapa perkataan bisa jadi mencerahkan

Ada beberapa hal yang membuat saya berpikir akan pentingnya kemampuan untuk menjelaskan topik riset anda dalam 5 menit, khususnya kepada masyarakat awam.

Pertama, saya terinspirasi dari sebuah acara di TV lokal mengenai investasi di startup company teknologi. Para pendiri startup harus meyakinkan angel investor (penyandang dana) bahwa yg mereka jual itu menarik dalam beberapa menit saja. Bila berhasil, maka baru diundang untuk memberikan presentasi yang lebih lengkap. Jika berhasil, maka dana bisa dicairkan.

Kedua, saya sering sekali ditanya oleh kenalan, teman dan keluarga mengenai topik riset saya. Karena kebanyakan mereka awam dalam dunia riset, proses penjelasan pun menjadi menantang. Jika penjelasan saya bertele-tele, malah bisa jadi maksudnya justru tidak sampai ke pendengar sama sekali.

Terus terang sampai sekarang pun saya masih kesulitan untuk melakukannya dengan memuaskan. Tapi ada beberapa poin yang mungkin bisa membantu, sependek pikiran saya.

1. Mulai dengan manfaat bagi manusia yang potensial untuk dihasilkan oleh riset tersebut. Saya pikir hal ini adalah yang biasanya paling mudah dimengerti, dan paling mampu membangkitkan minat pendengar.

2. Dilanjutkan dengan penjelasan sangat singkat bagaimana melakukan riset untuk mencapai manfaat tersebut. Usahakan jangan sampai ada jargon atau istilah ‘ilmiah’ sama sekali. Analogikan dengan fenomena yang dilihat sehari-hari oleh kebanyakan orang.

3. Jangan terburu-buru dalam memberikan penjelasan, tapi juga jangan terlalu lambat hingga membosankan.

4. Ekspresikan rasa cinta anda terhadap bidang riset anda ketika menjelaskannya. Tersenyumlah dan pasang wajah bahagia anda.

5. Usahakan berbicara dalam satu bahasa, tidak campur-campur beberapa bahasa.

Semoga berhasil!

Berani tidak pulang ke Indonesia?

Peta Indonesia

Ada fenomena menarik sebagian masyarakat Indonesia yg seolah-olah menuntut para penuntut ilmu segera kembali ke Indonesia untuk bekerja ketika selesai studi doktornya. Mungkin jika beasiswa selama sekolah yg didapat dari pemerintah Indonesia, tuntutan tersebut bisa dijustifikasi. Tapi harus diakui bahwa banyak sekali doktor lulusan luar negeri asal Indonesia, terutama yang (relatif) masih muda (dibawah 30 tahun), bukan penerima beasiswa pemerintah Indonesia atau yang khusus didapat karena rekomendasi pemerintah Indonesia.

Jika ada yang berargumen bahwa andil pemerintah juga besar dengan bukti kebanyakan pemuda Indonesia mendapatkan beasiswa luar negeri sebab sebelumnya menempuh pendidikan di sekolah dan universitas negeri yang bagus di dalam negeri, maka saya kira itu sedikit berlebihan. Kalau kita ingin mempertimbangkan andil tersebut, maka mungkin juga lebih utama untuk dipertimbangkan adalah andil orangtua, kemudian andil guru-guru kita dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Perlu disadari bahwa meskipun andil pemerintah pastinya ada, tapi tidaklah lebih besar daripada andil pemberi beasiswa S3 yang biasanya juga mencakup biaya hidup. Dan seringkali negara pemberi beasiswa S3 tersebut tidak memberi syarat apapun setelah lulus, misalnya harus bekerja disana selama beberapa tahun sebelum boleh kemana-mana

Ekstrim yang lain adalah sebagian masyarakat yg sangat tidak menyarankan kembalinya doktor-doktor muda lulusan luar negeri ke Indonesia. Ini beberapa kali juga dialami oleh saya, dan para pemberi saran beralasan bahwa kesejahteraan, kultur dan fasilitas riset di Indonesia sangat tidak terjamin; jadi buat apa kembali lagi? Ini sangat manusiawi, dan saya memakluminya. Terkadang beberapa teman saya hanya mencoba untuk realistis ketika memberi saran semacam itu.

Pendapat saya pribadi berbeda dengan dua ekstrim diatas, saya tidak menafikan sama sekali kemungkinan untuk pulang kembali bekerja di Indonesia. Pun saya tidak menafikan sama sekali kemungkinan untuk tidak pulang kecuali ketika liburan dan mendekati masa pensiun, jika Allah mengizinkan. Sejujurnya, untuk pulang kembali ke Indonesia dan berkarya dengan cukup nyaman butuh persiapan matang. Dan itu butuh waktu yang berbeda utk setiap orang. Berkarya di Indonesia dan di luar negeri memiliki tantangan masing-masing. Bukankah banyak yang pulang ke Indonesia karena setelah lulus doktor tidak lolos dalam kompetisi mendapatkan pekerjaan yang sangat keras di luar?

Mungkin tidak banyak disadari, salah satu tantangan bekerja di luar negeri adalah bersaing dengan warga dari negara tersebut. Lumrah sekali bahwa mereka memiliki banyak keunggulan dari segi birokrasi. Tentu saja employer akan melihat “the whole package”, bukan hanya kemampuan teknik atau bahasa belaka. Hal ini mungkin diperparah bila bidang yang ditekuni memiliki posisi yang sangat terbatas, sedangkan jumlah saingan jauh lebih banyak. Bila tidak bisa mendapatkan kerja yang sesuai maka bisa tidak dapat visa dan tidak bisa tinggal di luar negeri. Padahal, bila kembali ke Indonesia lebih banyak harapan untuk mendapat bantuan dari orangtua, keluarga dan sebagainya. Bahkan tidak kerja yang sesuai bidang pun bisa bertahan hidup dengan cukup layak, bahkan mungkin bisa lebih sejahtera daripada menekuni riset.

Jadi ini bukan masalah berani atau tidak berani, tidak segampang itu. Tidaklah seperti yang digembar-gemborkan oleh sebagian orang.

Saya yakin tanah air Indonesia pasti dirindukan oleh mereka yang lahir dan tumbuh berkembang di atasnya, walaupun kini mereka jauh di negeri orang. Tapi rasa sentimentil bukan alasan yang bagus utk membuat keputusan. Keputusan seharusnya dibuat dengan akal sehat dan pertimbangan yang matang. Mencari mana yang manfaatnya lebih besar dan yang kerugiannya lebih kecil. Tentu saja pertimbangan seorang bujangan akan sedikit berbeda dengan pertimbangan seorang kepala keluarga dan sebagainya.

Dan mengenai nasionalisme, yang kadang membuat pandangan manusia yang seharusnya luas menjadi menyempit, saya ingin menyampaikan beberapa kalimat berikut yang terinspirasi dari beberapa tulisan yang saya baca.

Batas antar wilayah dan negara adalah buatan manusia
Tetapi saya percaya bumi ini bukan diciptakan manusia
Bumi bukan juga milik manusia
Seseorang yang berkelana melewati batas-batas tersebut, meninggalkan kampung halamannya, sejatinya masih berada di tanah yang sama
Dalam perjalanannya dia akan menemukan “pengganti” keluarga, sahabat, dan lain-lain yang dia tinggalkan
Orang-orang yang memiliki jiwa-jiwa yang serupa dengannya
Meski mungkin warna kulit dan bentuk fisik tidak serupa
Bisa jadi ketika berkelana dia akan bertemu dengan sesama pengelana dari kampung halamannya
Dan mereka akan bercerita tentang keindahan kampung halaman
Cerita yang membuat rindu dan mungkin membuatnya ingin kembali pulang kesana
Tapi dia mengerti
Sejatinya dia masih menginjak bumi yang sama dengan kampung halamannya
Dan batas tanah yg dia injak hanyalah batas-batas di sudut hatinya

ADDENDUM (10/1/2013):

Banyak teman dan sahabat yang memberikan masukan yang sangat berharga di media lain, bukan WordPress. Sehingga akhirnya saya merasa perlu untuk menambahkannya disini.

Bagi yang telah berkeluarga salah satu pertimbangan yang penting adalah lingkungan yang kondusif untuk hidup berkeluarga dan tumbuh kembang anak. Kualitas hidup seperti makanan sehat, tingkat kejahatan yang rendah menjadi sangat penting. Bagi yang muslim, bagaimanapun mayoritasnya pasti ingin menanamkan nilai-nilai Islami ke anak-anak mereka. Hal ini menjadi cukup menantang bila tinggal di negara yang penduduknya mayoritas bukan muslim, atau malah mayoritas tidak beragama.

Disini saya lihat, Singapura mungkin punya sedikit keunggulan dibandingkan negara dengan penduduk mayoritas non muslim lainnya. Makanan halal dan masjid mudah dicari. Mayoritas orang Singapura mengerti tentang ritual sholat Jumat, karena secara kultural masyarakat Melayu punya sejarah panjang. Tidak saya pungkiri ada perusahaan yang berusaha membatasi ini, karena mungkin dianggap mengurangi produktivitas. Tapi tentu saja kita bisa memilih. Untuk tetap menuntut ilmu agama di sela kesibukan bekerja juga relatif tidak sulit, karena cukup banyak ustadz yang kompeten di bidangnya, walaupun mayoritas kelas/kajian dalam bahasa Melayu yang pada awalnya, dan akan membaik seiring waktu, terdengar aneh bagi teling orang Indonesia. Idul Fitri dan Idul Adha pun dari dulu sampai sekarang masih menjadi hari libur nasional.

Tentu saja saya juga melihat beberapa kenalan muslim atau muslimah yang dalam pemikiran dan perilaku menjadi lebih “barat” daripada “orang barat”, padahal dari kecil sampai SMA tinggal di Indonesia, baru kuliah saja di Singapura. Ini kenyataan, dan mungkin nasibnya tidak begitu jauh berbeda apabila tinggal di Jakarta atau kota besar lain di Indonesia jika dia bergaul rapat dengan kumpulan orang yang salah. Allahua’lam.

Kemudian, ada teman mengingatkan bahwa kontribusi yang terbesar adalah bila semakin banyak yang bisa merasakan kontribusi tersebut. Kalau bisa, berkontribusilah untuk seluruh umat manusia! Bukan cuma berkontribusi untuk negara yang mengeluarkan paspor kita saja. Kita lihat memang ada segelintir peneliti yang sukses di luar negeri, tapi kemudian memilih untuk kembali pulang ke Indonesia dengan segala keterbatasannya. Bisa jadi alasan utama mereka bukanlah nasionalisme sempit, tapi karena kenyataannya Indonesia lebih membutuhkan ilmu mereka daripada negara maju yang mereka tempati. Ini dilihat dari segi kemanusiaan.

EPILOG

Para pembaca mungkin ada yang belum menyadari, judul artikel diatas sengaja dipilih seperti itu karena dengan jeda (berhenti sejenak) yang berbeda akan punya makna yang berbeda. Bandingkan jika anda baca:
Berani tidak [jeda] pulang ke Indonesia?
dengan
Berani [jeda] tidak pulang ke Indonesia?